Meneguhkan Islam Nusantara

 

meneguhkan-islam-nusantara
Sumber gambar: http://talimulquranalasror.blogspot.co.id/

31 Januari 2016, merupakan Hari lahir Ke-90 Nahdlatul Ulama. Peringatan Harlah NU tersebut mengusung tema ‘Islam Nusantara Menjaga Aset Bangsa’. Dimana melalui tema tersebut tersirat bahwa NU berkomitmen untuk senantiasa menjaga perdamaian dan keutuhan bangsa dan negara Indonesia. Komitmen ini terus digelorakan, karena NU melihat banyak gerakan dan paham yang cenderung mencerai-berai keutuhan bangsa yang sejak dahulu hingga kini terus dibangun oleh para ulama, khususnya ulama pesantren.

Bom Sarinah masih belum hilang dari ingatan rakyat Indonesia. Ini semakin mengukuhkan bahwa warna keberagamaan masyarakat Indonesia tengah mengalami gugatan yang cukup kuat dalam bentuk radikalisme agama. Pandangan keislaman yang dianut mayoritas masyarakat Indonesia sampai saat ini menurut kelompok tersebut bukan merupakan pemahaman agama yang benar, sebab tidak ada contohnya di masa lampau jaman salaf al-shalih.

Islam khas Nusantara sering dituding juga sebagai wujud “kajahiliyahan modern” yang tidak otentik, sebab telah melenceng dari Islam yang sebenarnya. Proses akulturasi antara Islam dan kebudayaan di Indonesia dipandang sebagai sebuah kesalahan, sebab telah menghilangkan nilai keotentikan Islam. Bagi mereka wujud keberagamaan seperti ini memang pantas disebut bid’ah dan khurafat, yang karena itu Islam Indonesia yakni Islam khas Nusantara harus diislamkan kembali dengan panji-panji puritanisasi, pemurnian.

Gugatan ini semakin menjadi-jadi tatkalah umat Islam Indonesi mengadopsi gagasan modern seperti konsep demokrasi, kedaulatan rakyat, negara bangsa, dan konstitusi alah Barat. Sistem yang oleh sebagian kalangan dianggap sebagai sistem sekuler yang harus diruntuhkan dan kemudian diganti dengan sistem yang lebih Islami, seperti Negara Islam atau Khilafah Islamiah.

Selain dalam bentuk pertarungan pemikiran (ghaswul fikr), gugatan tersebut juga semakin nampak dalam bentuk gerakan. Munculnya ormas-ormas yang lengkap dengan gerakan massanya seperti jaringan Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir Indonesia, Majelis Mujahidin Indonesia, Front Pembela Islam, Lazkar Jihad dan lain sebagainya yang semakin menegaskan bahwa gugatan terhadap praktek keberislaman di Nusantara telah muncul dalam tataran praksis. Demi ketundukan kepada teks al-Qur’an, Hadist, dan tradisi lampau (salaf al-shalih), mereka aktif mengkapanyekan jargon-jargon formalisasi syariat.

Dengan dalih kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah sebagai wujud nyata otentifikasi keislaman, gerakan-gerakan tersebut perlahan mengikis ekspresi sosial umat Islam yang ramah, toleran dan moderat. Bentuk keislaman yang tidak dogmatis, non-formalistis, dan mengutamakan substansi daripada simbol sedikit terdesat oleh kehendak formalisasi syari’at Islam. Kecenderungan ini perlahan akan menjadi ancaman bagi realitas Indonesia yang multikultural dan plural. Sebab formalisasi syari’at disamping membawa misi puritanisasi Islam juga membawa budaya Timur Tengah ke Indonesia.

Padahal penerapan syari’at sejatinya tidak mesti dalam bentuk legal-formal, seperti pemberlakuan fiqih Islam sebagai hukum positif negara. Formalisasi syari’at Islam ini justru akan menggerus makna ketundukan yang sebenarnya. Dimana seharusnya proses keberagamaan merupakan inpirasi yang dilandasi ketundukan sepenuh hati tak lagi bermakna karena formalisasi syari’at Islam mengesankan pemaksaan. Semua peribadatan baru punya arti jika muncul dari kehendak dan kesadaran diri sebagai cerminan penghambaan, bukan karena takut terhadap sangsi dan hukuman dari aparat negara.

Untuk itulah gagasan “Islam Nusantara” yang dilontarkan KH. Said Aqil Siradj, merupakan sebuah keharusan dan keniscayaan untuk tetap melanggengkan keberagamaan Indonesia. Gagasan Islam Nusantara sebenarnya bukan sesuatu yang baru, sebab secara substansi gagasan ini mirip dengan gagasan “Pribumisasi Islam” yang pernah ditawarkan KH. Abdurahman Wahid, sebagai upaya untuk mencairkan pola dan karakter Islam dari sesuatu yang normatif dan praktek keagamaan menjadi sesuatu yang kontekstual. Dimana konsep ini memandang Islam sebagai ajaran normatif dari Tuhan dapat diakomodasikan dalam kebudayaan yang berasal dari hasil cipta, rasa dan karsa manusia tanpa kehilangan identitasnya masing-masing.

Abdurahman Wahid (Gusdur) mengungkapkan, “Arabisasi atau proses mengidentifikasi diri dengan budaya Timur Tengah adalah tercabutnya kita dari akar budaya kita sendiri. Lebih dari itu, Arabisasi belum tentu cocok dengan kebutuhan. Pribumisasi bukan upaya menghindarikan timbulnya perlawanan dari kekuatan budaya-budaya setempat, tetapi justru agar budaya itu tidak hilang. Inti “pribumisasi Islam” adalah kebutuhan bukan untuk menghindari polarisasi antara agama dan budaya, sebab polarisasi demikian memang tidak terhidarkan.”

Pada konteks demikian, gagasan Pribumisasi Islam yang kini dengan wujud barunya “Islam Nusantara” dapat menjadi jawaban dari semakin gencarnya proyek “Formalisasi Islam”, “Islam Otentik”, dan “Politik Identitas Islam” yang ingin melakukan proyek Arabisasi di dalam setiap komunitas Islam di seluruh penjuru dunia.  Islam Nusantara tidaklah anti budaya Arab, akan tetapi untuk melindungi Islam dari Arabisasi dengan memahaminya secara kontekstual. Islam Nusantara tetaplah berpijak pada akidah tauhid sebagaimana esensi ajaran Islam yang dibawa Nabi Muhammad. Arabisasi bukanlah esensi ajaran Islam. Karenanya, kehadiran karakteristik Islam Nusantara bukanlah respon dari upaya Arabisasi atau percampuran budaya arab dengan ajaran Islam, akan tetapi menegaskan pentingnya sebuah keselarasan dan kontekstualisasi terhadap budaya lokal sepanjang tidak melanggar esensi ajaran Islam.

Islam Nusantara hadir dimaksud untuk memberikan peluang bagi keanekaragaman interpretasi dalam praktek kehidupan beragama (Islam) disetiap wilayah yang berbeda-beda. Dengan demikian, Islam tidak lagi dipandang secara tunggal, melainkan majemuk. Tidak lagi ada anggapan bahwa Islam yang di Timur Tengah sebagai Islam yang murni dan paling benar, karena Islam sebagai agama mengalami historisitas yang terus berlanjut. Dengan demikian Islam Nusantara tidak kalah Islami dengan Arab Saudi, Iran, Sudan, Pakistan dan negeri muslim lainnya.

Sebagaimana “Islam Pribumi”, karakter yang melekat pada Islam Nusantara adalah; Pertama, Kontekstual, yakni Islam dipahami sebagai ajaran yang terkait dengan konteks zaman dan tempat. Perubahan waktu dan perbedaan wilayah menjadi kunci untuk kerja-kerja penafsiran dan ijtihad. Dengan demikian, Islam akan mampu terus memperbaharui diri dan dinamis dalam merespon perubahan zaman. Selain itu, Islam dengan lentur mampu berdialog dengan kondisi masyarakat yang berbeda-beda dari sudut dunia yang satu ke sudut yang lain. Dengan kemampuan beradaptasi kritis inilah sesungguhnya Islam benar-benar shalih li kulli zaman wa makan (relevan dengan semua zaman dan tempat manapun).

Kedua, Toleran. Kontekstualitas Islam pada gilirannya menyadarkan kita bahwa penafsiran dan pemahaman terhadap Islam yang beragam bukan hal yang menyimpang ketika kerja ijtihad dilakukan dengan bertanggungjawab. Dengan demikian, sikap ini akan melahirkan sikap toleran terhadap berbagai perbedaan tafsir Islam. Lebih jauh lagi, kesadaran akan realitas konteks keindonesiaan yang plural menuntut pula pengakuan yang tulis bagi kesederajatan agama-agama dengan segala konsekuensinya. Semangat keragaman inilah yang menjadi pilar lahirnya Indonesia.

Ketiga, menghargai tradisi. Ketika menyadari bahwa Islam (pada masa Nabi pun) dibangun di atas tradisi lama yang baik, hal ini menjadi bukti bahwa Islam tak selamanya memusuhi tradisi lokal. Tradisi tidak dimusuhi, tetapi justeru menjadi sarana vitalitas nilai-nilai Islam, sebab nilai-nilai Islam perlu kerangka yang akrab dengan kehidupan pemeluknya.

Keempat, progresif. Dengan perubahan praktek keagamaan diandaikan Islam menerima aspek progresif dari ajaran dan realitas yang dihadapinya. Kemajuan zaman bukan diapahami sebagai ancaman terhadap acaran dasar agama Islam, tetapi dilihat sebagai pemicu untuk melakukan respons kreatif secara intens. Dengan ciri ini Islam bisa dengan lapang dada berdialog dengan tradisi pemikiran orang lain termasuk dengan Barat.

Kelima, membebaskan. Islam menjadi ajaran yang dapat menjawab problem-problem nyata kemanusiaan secara universal tanpa melihat perbedaan agama dan etnik. Islam adalah untuk manusia, demi kemaslahatan manusia. Oleh karena itu, Islam mesti dekat dengan masalah keseharian manusia. Islam tidak hanya berbicara persoalan gaib (eskatologis) dan peribadatan, melainkan juga akrab dengan perjuangan melawan penindasan, kemiskinan, keterbelakangan, anarki sosial, dan sebagainya. Islam adalah milik orang kecil selain juga milik orang besar. Bukankah para Nabi diutus untuk membebaskan, para nabi selalu diutus untuk orang-orang tertindas baik dari ketertindasan idealitas dan realitas. Rasulullah saw juga diutus rahmat bagi semesta alam dan pembawa manusia dari jaman kegelapan menuju cahaya (min az-zhulumat Ila an-Nur). Semangat tersebut yang semakin mengokohkan Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin.

Dengan karakter idealitas tersebut, Islam Nusantara tidak hanya untuk Indonesia saja melainkan menjadi sebuah solusi bagi seluruh dunia Islam. Semoga seluruh rakyat Indonesia khususnya umat Islam mampu menghayati perannya sebagai aset bangsa dengan tetap menjaga jatih diri kebangsaan dan tidak mudah mengikuti arus paham-paham yang tidak sejalan dengan cita-cita dan jiwa kebangsaan dan kenusantaraan.

Senafas dengan ini, Guru Besar Sejarah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta berdarah Bangladesh Prof Dr Abdul Karim, berpandangan bahwa Islam Nusantara  relevan terhadap kondisi paham keislaman global yang cenderung radikal, terutama konflik dan ketegangan antar sesama negara atau aliran-aliran Islam di wilayah Timur Tengah. Sebab selain Islam masuk ke Indonesia dengan damai, kondisi Indonesia yang memiliki arah angin delapan, dimana  angin yang berhembus itu saling berbenturan, akhirnya mencair. Itu mempengaruhi watak manusia secara geografis. Sehingga dalam konteks perdamaian dunia, bisa dikatakan Islam di Indonesia yang memimpin. Karena Islam di Indonesia tidak memiliki musuh. Indonesia bisa bekerja sama dengan semua negara. Bahkan, Indonesia bisa menjadi juru damai antara negara yang berseteru. (***)

Jakarta, 3 Februari 2016
KFC Sarinah Thamrin – Jakarta Pusat
100 Meter dari Lokasi Bom Sarinah

Catatan:

Tulisan ini terinspirasi dari tulisan M. Imdadun Rahmat berjudul “Islam Pribumi, Islam Indonesia” dalam buku “Islam Pribumi: Mendialogkan Agama Membaca Realitas“.

 

Tinggalkan komentar